Sabtu, 27 Juni 2009

Management syahwat

Artiket ini mungkin akan mengusik ketenangan “pemahaman” anda selama ini tentang hidup dan kehidupan, barangkali. Boleh jadi gelombang radiasi dari obyek bacaan yang sedang anda hadapi ini akan mengejutkan anda, lalu mengrenyitkan kening. Bahkan sengatan elektro maknetik radiasi dari obyek asing bagi anda ini akan membuat anda kaget dan sedikit tersadar. Setelah itu, harapan saya, anda tetap terjaga dalam intensitas pemikiran di sela-sela kesibukan. Bukan kembali lagi dengan bunga-bunga mimpi tidur. Semoga.


Setiap individu, tidak perduli apakah itu gugusan bintang-bintang yang tersebar dalam hamparan luas di cakrawala yang disebut great wall (tembok raksasa) dengan perkiraan luas mencapai 500 juta tahun cahaya, atau se-zaroh partikel etementer cahaya (foton) yang keberadaannya tidak dibisa diidentifikasi dalam satu waktu dengan berbagai mekanika fisika yang ada, yang memenuhi sistem hampa udara, ditakdirkan oleh Tuhan untuk dapat menjadi diri sendiri dan memperkaya kandungan jati dirinya yang tersimpan (innersial).Ini bukan sesuatu yang diasumsikan dan tidak pula hasil deduksi dari jenis manusia. Tetapi suatu kemutlakan titah Tuhan; menurut asumsi absolut Tuhan sendiri (peringatan! Kalau anda tidak faham, anggap saja kita sama-sama baru memahami), manusia atau individu di jagad raya tidak punya pilihan, walau dimungkinkan fenomena protes dan pembangkangan. Lucunya, arena dan wacana pembangkangan itu tidak bisa keluar dari dimensi “ruang-waktu”. Pembangkangan dalam lingkup ruang terkait dengan garis bujur, terpola di dalam medan tempat, dan arena yang tetap terkena hukum gravitasi. Pasti. Inilah pembangkangan horizontal secara spesifik terkait dengan maalim-maalim (identitas) syariat; ngutil, nyopet, maling. merampok, garong, sogok dan nyogok, madat, madon dan lain-lain yang mencerminkan kerendahan naluri hewaniah dan nabati.

Sedang pembangkangan dalam sekup waktu terseret oleh garis lintang. Naik bersinergi dengan kecepatan cahaya, berpetualang pada ruas jagad yang -katanya- menjebol hegemoni daya tarik bumi. Inilah pembangkangan vertikal terkait dengan struktur otak dan pengembaraan spiritual; komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan seambrek gerakan spiritual yang terobsesi oleh penyegaran dimensi ruh.

Kalau hanya sampai disitu maksimalitas individu dalam mengadakan pembangkangan, maka menurut asumsi mutlak Tuhan pembangkangan ini masih terjadi dalam wilayah kerajaan-Nya yang otomatis atas sepengetahuan dan izin Tuhan walau tidak diridoi. Bisa jadi pemberontakan itu melepaskan diri dari hukum Tuhan, kekuasaannya?

Manusia sedang dan untuk berikutnya senantiasa mencari diri mereka sendiri. Spektrum pencarian terasa menyebar (istilah kita manusia banyak keinginannya). Tuhan memperingatkan dan peringatan ini adalah haq dari titah Baginda Rosulullah SAW. bahwa segala intentitas selain Allah ta’ala adalah kosong (batil), segala gerak dan aktifitas yang melenceng dari orientasi yang ditetapkan-Nya akan mengembara dan tersesat serta tidak akan kembali (artinya segala upaya dan usaha muspro ora keno ditilik no akherate). kasihan pencarian hanya berakhir sebagai bentuk bunuh diri terselubung.

Dunia dan seisinya, termasuk kita sebagai individu diciptakan dalam kuantitas dan kualitas haq, tidak untuk permainan dan gendoyaan. Itu asumsi titah Tuhan yang ditujukan khusus makluk-maklukffya agar terserap dalam keyakinan mereka dan termanifestasikan pada keseriusan mengembang amanat dan tugas. Jadi hak untuk dunia dan seisinya. Tetapi bagi sifat-sifat wahdaniyat dan mukholafatullil khawadist-Nya, dunia dan seisinya adalah banyolan atau permainan belaka, yang bermain dan bergerak adalah Dia, Sang maha raja seru sekalian alam.

Membaca kalimat terakhir ini mungkin anda memotong, “….. Jangan memasang persepsi pada Tuhan yang konyol seperti itu, masak Tuhan bermain dan mempermainkan hidup serta kehidupan makhtuk,” tukas anda. Kalau anda memotong kalimat semacam itu saya juga menjawab, “Memangnya Tuhan itu mendapat tugas dari siapa sehingga mengharuskan Dia harus bersusah payah untuk serius dan bersungguh-sungguh segala. Bukankah mendapatkan sehelai sayap nyamuk itu sama mudahnya bagi Tuhan dengan mendapatkan jagad raya dan seisinya.”

Bukti nyata lagi untuk mendukung sementara pilihan saya bahwa dunia ini serba permainan adalah kita sering kecele dengan apa yang kita anggap tepat, benar, logis, dan pasti yaitu maraknya universitas dan perguruan tinggi, ramainya permodalan dan investasi, hiruk pikuknya promosi dan ikian, jubel dan sesaknya jalan trotoar oleh gambar dan reklame. Belum lagi aneka ragam dan bentuk kursus dan pelatihan. Dari mana dan apa motivasinya tidak jarang out put yang dirasakan (bahkan oleh pelaku sendiri) adalah nol sekian persen, kalau tidak disebut nol besar.

Energi tidak bisa Dimusnahkan
Sebagian teman mungkin akan dapat menebak ke arah mana artikel ini diharapkan. Tetapi saya tidak yakin, walaupun arah cahaya dapat dibelokkan sebagaimana disaksikan oleh para ahli fisika pada tahun 1919 saat terjadi gerhana matahari di daerah bagian Amerika Serikat, tetapi radiasi yang muncul dari manusia adalah misterius. Sulit ditebak dan lebih tergantung pada kepentingan tertentu. Makanya manusia dapat dikategorikan zone politicon (binatang cerdik); lebih dari sekedar kancil dalam dongeng masa kecil kita yang kecerdikannya terbatas pada areal sawah yang berisi buah mentimun. Sedangkan kejelekan manusia? Mohon jawab sendiri. Itulah fisika diambil dari physic, yang artinya watak (tabiat). Sepanjang manusia senantiasa mengikuti alur dan ritme dorongan nafsunya, tekanan tabiat dasarnya, maka manusia didominasi oleh karakter incertainly (tiada kepastian) tergantung ruang dan medan yang dikenai.

Itulah salah satu “kandungan” di antara kandungan-kandungan yang terselip pada tumpukan jerami materi tubuhnya. Saya menyebut energi. Anda bisa menyebut daya sebagian lagi mengatakan gaya. Dan dalam kultur kitab kuning sering menyebut hillah (rekodoyo). Tetapi diantara yang paling pas dengan onggokan tubuh wadak, struktur materi yang terjaring dalam sistem anatomi makhluk mulia ini adalah istilah syahwat. Salah seorang karib sekaligus kerabat saya, salah seorang insinyur pertanian dari sebuah Universitas yang dikelola oleh para mantan perwira Angkatan Darat, yang daripadanya saya belajar tentang wacana intercainly manusia: wong insinyur pertanian ternyata yang ditangani, dikelola, dan dari situ potensi bawaanya membawa hasil untuk pencaharian keluarga adalah hal-hal yang berbau kertas dan lem serta dunia industri kecil yang menghasilkan produk dan bergerak pada ruang kelas dan kantor. la kaget tentang pengertian syahwat yang saya sodorkan. Dalam pemahaman konvensional selama ini dan -katanya meyakinkan- semua orang juga mengatakan begitu bahwa syahwat itu spesifik untuk dorongan nafsu yang terfokus pada energi kelamin. Maka tidak salah bila timbul istilah-istilah nafsu syahwat, lemah syahwat, syahwat kecil atau syahwat luar biasa. Benar-benar jantan dan perkasa, bahkan sebagian produksi jamu melahirkan promosinya “dan bikin kuat seperti Kuku Bima,” dan yang terakhir kita masih ingat sebuah iklan di televisi yang dimainkan oleh seniwati Diah Pitaloka dengan atraksi suaranya yang “meooooong.” Coba bayangkan, dunia telah mendistorsi sebuah makna yang luas menjadi sempit. Sebuah makna yang hampir bisa dikenakan untuk kehendak naluri lantas hanya dijadikan sebuah bungkus, seperangkat lebel yang semuanya menjurus pada kebutuhan biologis pada level top screet (aurot), yaitu kebutuhan kelamin. Saya yakin sebagimana juga anda menyadari, tidak ada sesuatu yang tiba-tiba membuat seorang begitu hidup dan bersemangat dibanding dengan urusan ini. Itu bukan urusan asumsi tapi kesimpulan, bahkan firman mutlak Tuhan. Soal perempuan, di dalam Al-Quran, menempati rengking pertama dari keunggulan dan keperkasaan gravitasi yang ditimbulkannya. Setelah itu secara urut anak-anak, mas, perak, kendaraan, dan tanah pertanian.

Tetapi syahwat dalam esensi proporsional adalah keseluruhan dari kandungan dalam diri manusia. Dari situ ia dihidupkan dan dengan itu pula manusia menjalin kehidupan. Tetapi bukan satu-satunya dalam ekspresi dan manifestasinya. Sebab syahwat, energi bawaan, kandungan asal, kalau boleh -semoga tidak dimarahi oleh penemu bom atom nuklir, pencetus teori relativitas mbah albert Einsten- disebut masa (innersial). Asal peletakan makna syahwat adalah menjadi perhiasan dunia. Namun ia bisa baik sepanjang tertata, ia potensial untuk menjadikan dan mengembangkan kepribadian manusia dalam bentuk kemanusiaannya, kalau dikendalikan.

Syahwat duniawiyah adalah syahwat yang menyebar, melorot turun disebabkan oleh masa yang berada pada pengaruh medan gravitasi yang kita lihat. Saat anda melihat wanita tidak jarang konsentrasi kita menyebar. Melihat anak, rasa kasih kita pun segara turun. Melihat harta benda dan keberhasilan semanaat kita juga turun.

Anda Perlu Bukti?
Sampai di sini barangkali anda kaget ke mana arah tulisan ini, saya jawab ke arah suatu tujuan yang menjebol diterminisme otak; pengotak-kotakan otak yang sempit baik kiri atau kanan menuju pada aktualitas kejiwaan yang penuh vitalitas energik dan berorientasi pada keluruhan dan kemuliaan hidup. Yang ini berarti kita bermain dengan kecepatan cahaya (Nur Ilahiyah). Dimanakah dan bagaimanakah cahaya itu dapat kita dapatkan ? Gampang saja.

Pertama: atur pernapasan sesering mungkin. Sadari keberadaan signifikansinya pada tubuh dan proses berpikir anda. Perlu anda ingat dalam kamus tulisan ini kesadaran yang sejati adalah kesadaran yang meningkat, Dan itu tidak bisa terjadi kecuali nur ilahiyah menyertainya. Itulah kesadaran untuk bersyukur. Bersyukur bahwa nafas (ruh ) itu anugrah Tuhan yang nilai jualnya tidak bisa ditaksir dengan materi. Hanya orang-orang yang gila secara medis sajalah yang mau dicekik supaya tidak bernafas. Melatih pernafasan, kalau hanya dibatasi demi kesehatan itu kembalinya pada nilai syahwat tingkat rendah pula. Tidak! kurang professional dari sudut kualitas kemukminan anda. Bukan berarti tidak baik, siapa bilang? Tanpa latihan yoga, meditasi, senam pernafasan dan lain-lain nama yang menjamur dewasa ini toh anda tetap sehat, fit, berenergi dan aktif sepanjang hari. Bagamana yang professional itu? Yang professional adalah bemafas dengan berzikir.
Bernafas dengan berzikir dalam teknik adalah bukan bernafas saat berdzikir. Semua orang mukmin bisa saja setiap waktu memasukkan dzikir dalam nafasnya. Tetapi teknik berzikir yang mampu mengeksploitasi nafas itu baru namanya melatih pemafasan dengan kesadaran, yang diharapkan darinya adanya kekuatan faidh (radiasi) nur ilahiah dari lafadz yang digunakan berzikir tersebut ke dalam sel-sel otak dan ke dalam struktur qalbu.

Berbicara qalbu saya teringat akan istilah Managemen Qolbu dari Bandung. sebuah nama Yayasan barangkali yang dikomandani oleh dai kondang yang dibesarkan oleh media elektronik, KH. Abdullah Gymnastiar (AA Gym). Saya usulkan agar istitah management qalbu diganti dengan management syahwat saja. Ini usul Iho. Kok dari prespektif tasawuf murni lebih pas dan mengena. Sebab struktur kolbu itu kalau diperas tenaga intinya dan dikemas dalam bingkai-bingkai retorika pidato dan ceramah akan kehilangan sifat lembabnya. la menjadi kering, sebab setiap kalimat apapun itu, sepanjang tidak lafald dzikir akan membawa serapan nur ilahiah yang ada dalam hati. Semakin banyak kalam, banyak bicara semakin terkuras isi hatinya. Untuk mengisinya tidaklah semudah kita mengisi air ke sebuah tong. Kalau hati sudah tidak berisi nur ilahiah, maka yang menguasai adalah gambar-gambar, grafik-grafik hasil proyeksi syahwat, maka yang tepat adalah management syahwat.

Alasan saya ini benar-benar mengadopsi dari fatwa raksasa sufi intelektuil, seorang rektor Al-Azhar Mesir pada abad 10 H. yaitu Syeh Abu Mawahib As-Sya’roni yang menyarikan dan merekomendasikan fatwa tersebut dari perintis-perintis tasawuf sebelum beliau. Pengalaman pribadi temyata bekerja dengan sistem qolbu. Masya Allah beratnya; peka dan sangat sensitif dengan segala gelombang-gelombang radiasi yang dipancarkan oleh medan-medan gravitasi. Ingat medan-medan gravitasi itu adalah perempuan, anak-anak, harta benda, kendaraan, hewan atau mekanis, pertanian dan perkebunan. Saya berani bertaruh dengan saya sendiri di hadapan anda bahwa saya bisa dalam beberapa menit saja mampu mengelurkan air mata anda dengan cara bermain teater dan peran melalui sentuhan doa-doa yang dikemas dalam suasana sedih dan melankolis. Itu kan permainan saja. Lihat saja sinetron.

Bekerja dengan Cahaya
Bernafas dengan berdzikir dalam teknik berarti: A. Mempersatukan segenap karsa dan rasa dalam satu nuktoh (focus) “ALLAH”, membayangkan lafalz Allah masuk dalam hati dan mensirkulasikan kesadaran di level otak atau pikiran dengan spektrum tunggal “Ketenangan dan keheningan” seraya menolak segala bentuk impus dan elektromaknetik radiasi materi dunia, apapun itu. mutlak. Sekali anda membiarkan getaran radiasi “hitam” ini menjalar dalam pikiran, maka konsekwensi logis yang anda rasakan adalah pembiasan konsentrasi dan melorot ke medan gravitasi materi tersebut sehingga mencapai kawasan melar atau menyebar, dan itu berarti rona-rona gambar duniawiyah akan mendepak lafaldz Allah yang baru saja anda tanam di jantung kolbu anda.

B. Kekuatan tanpa I’dath (pertolongan) dari aspirasi Allah SWT. Adalah kekuatan terasing, tersendiri, tanpa bantuan dan mudah patah diterjang oleh berbagai intervensi impus syahwat nafsu yang datang secara bergelombang dengan kecepatn cahaya ssttt…. .sssttttt……….ssssttttttt…….hatipun bubrah dan konsentrasi pun buyar. Karenanya para raksasa intelekktual sufi merekomendasikan bagi para pemula (murid toriqoh atau salik) untuk membayangkan saksiyah sang guru dan menyerap aspirasinya (himmahnya) persis di antara titik kelenjar pituari yaitu daerah pertengahan ujung kedua mata saat sang pemula itu mulai berzikir. Sebab sang Guru sejati itulah yang menjadi medium dari aspirasi Allah SWT. Teknik ini sekaligus memiliki tujuan praktis untuk menandingi munculnya bayangan-bayangan materi non ilahiah. Baru setelah frekuensi meningkat, radiasi dari kalimat dzikir telah menguasai medan jiwa dan merasuki segenap sel pori-pori dan keratan karsanya maka secara dloruri bayangan saksiyah guru tersebut sudah tidak diperlukan. Hal itu dikarenakan kontak langsung dengan aspirasi Allah SWT melalui kalimat dzikir telah bisa diatasi dan sangat menyenangkan (dhoup).

C. Namun agen-agen subversif iblis guna mensabotase jalannya dzikir sang hamba tersebar di setiap tarikan nafas. Hati-hati. dzikir yang cepat, mantap dan penuh energik adalah teknik lain yang direkomendasikan untuk melawan tembakan isu-isu murahan dari makluk pendengki ini. Itu semacam pemetaan pertahanan luar. Sedang yang ke dalam, suara yang keras secara hukum fisika akan memberi daya tekan serta penegangan pada suatu laju kecepatan. Itu berarti frekuensi dzikir semakin meningkat dan gelombang radiasinya akan memanjang yang pada berikutnya akan melingkari dan melilit matra kolbu.

D. Berhenti sesaat, guna menambah volume oksigen dalam kantong paru-paru melalui system pemafasan harus dimaknai sebagai menghirup ulang partikel-partikel cahaya dzikir yang tersebar dan berenang di sekitar ruang tempat dzikir. Dan secara bersamaan menyebarkan efek radiasi dzikir yang ditimbulkan di dalam tubuh ke segenap rasa dan karsa.

E. Bertahan berberapa saat atau berdiam diri dalam penikmatan syahwat llahiah, yang digambarkan bagai seekor kucing yang hendak menangkap buruannya, adalah lah satu rekomendasi hujjatui Islam Imam AI-Ghozali. Itulah makna pemampatan dan kerapatan unsur-unsur radiasi ketuhanan di dalam tubuh dan yang mengelilingi setiap utas urat saraf otak.
Kedengarannya sederhana. Memang. Tetapi sulit untuk memulainya. Disitulah persolaannya. Hanya sebuah tekad yang tinggi, kuat dan membaja sajalah yang dapat mengatasi garis start dan akhirnya mampu menjadi dan memperkaya diri dengan sumber asal kejadiannya, yakni Allah SWT. Ini soal pengincip atau rasa moralitas kerohanian. Bagaimana kualitas pencapaiannya itu sangat tergantung pada “setoran waktu” dzikir yang dipersembahkan; semakin lama, intensif dan konsisten semakin melimpah ruah cahaya yang didapati.

Tidak ada komentar:

adalah ladang puisi sang penyair malam. Ladang Syahwat itu adalah sekujur tubuh yang menggigil

adalah ladang puisi sang penyair malam.    Ladang Syahwat itu adalah sekujur tubuh yang menggigil
gelembung syahwat

Asal Mula Kemaksiatan dan Ketaatan

Friday, 11. January 2008, 07:16:36 Matnul Hikam "ASAL SEMUA MAKSIAT. LUPA KEPADA ALLAH DAN SELA MENURUTI SYAHWAT YANG DATANG DARI HAWA NAFSU. DAN ASAL DARI SETIAP KETAATAN, KESADARAN DAN MENJAGA DIRI DARI SYAHWAT ITU TIDAK ADA KERELAAN DARIMU DALAM MENURUTI HAWA NAFSU". Menurut para ulama', bahwasanya asal muka timbulnya kemaksiatan yang di lakukan seseorang itu adalah karena mereka itu berpaling dari Allah dan menurutkan kehendak hawa nafsu. Padahal sebenarnya kalau manusia itu mau berfikir dengan hati dan akal yang sehat, niscaya dia akan tahu kurang kehancuran, kebinasaan dan juga kehinaan. Namun demikian, tidaklah bijak kalau nafsu itu kita lenyapkan begitu saja. Karena pada dasarnya, nafsu itulah yang mendorong manusia ke arah kemajuan. Dan dalam hal ini nafsu tersebut terbagi menjadi dua macam, yakni: (1). Nafsu Ammaroh, yaitu nafsu yang cenderung untuk berbuat keburukan dan kejahatan. Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Yusuf ayat 53, yang artinya: "Dan aku tidak membebaskan dirimu (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun Lagi Maha penyayang". (2). Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang tenang dan dapat dikendalikan, sehingga tidak mempunyai kecenderungan untuk berbuat kejahatan atau kemaksiatan. Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Fajr Ayat 27-28, yang artinya: "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-Ku". Adapun nafsu Ammaroh itu terbagi lagi menjadi enam macam, yakni: (1). syahwat, yang harus diatasi dengan jalan mengerjakan amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. (2). Amara, yang harus diatasi dengan sifat sabar. (3). Thama', yang harus diatasi dengan sifat qona-ah. (4). Takabur atau Sombong, yang harus diatasi dengan sifat tawadhu'. (5). Riya', yang harus diatasi dengan sifat ikhlas. (6). Dengki, yang harus diatasi dengan sifat pasrah dalam menerima apa yang sudah menjadi bagiannya. Keenam sifat buruk yang menjadi cabang dari nafsu ammaroh tadi haruslah diperangi dan diatasi dengan cara menanamkan sifat-sifat baik sebagai mana yang tersebut di atas yang sebelumnya merupakan cabang dari nafsu muthmainnah.

blog asal mikir

blog asal mikir
Ferry Arbania Sumenep Madura

Tawa untuk Logika Janda



Yuni Shara Jadi Janda Kembang

Ynachofoto.comuni Shara Jadi Janda Kembang





Susah sungguh bergelar janda, jadi rebutan dan caci-maki para tetangga

“Takut… takut… takut… Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt…. Ciut.. ciut… ciut… Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt….” Anda pasti akrab dengan potongan lagu di atas. Ya, itulah lagu yang menjadi pembuka tayangan sitkom “Suami-suami Takut Istri” setiap sore di TransTV. Dari lagu tersebut sudah jelas arah cerita komedi itu, tentang suami yang tak berdaya di depan istri.Sitkom yang diproduseri Anjasmara dan disutradarai Sofyan de Surza itu memang populer. Selain cukup bagus dari sisi cerita, kekuatan karakter tokoh menjadi daya tarik utama, terutama karena bumbu kontradiksi di dalamnya. Tigor (Yanda Djaitov) yang berbadan binaraga misalnya, justru takluk sama istrinya, Welas (Asri Pramawati), yang lembut dan kurus. Lucu, apalagi jika mengaitkan kesukuan mereka, Tigor yang Batak dan Welas yang Jawa. Atau keluarga satu suku, Faisal (Ramdan Setia) dan Deswita (Melvy Noviza). Matrenalisme suku Padang diwujudkan secara ekstrim dalam ketaklukan suami dalam hal apa pun. Sesuatu yang hiperbolis, sebenarnya. Tapi, tanpa yang hiperbolis, komedi tentu akan kehilangan suara.

Konflik dalam sitkom ini tergolong biasa, khas permasalahan rumah tangga. Namun karena faktor ketertundukan suami, penyelesaian konflik tadi acap mengundang tawa. Apalagi, dikontraskan dengan kehadiran Dadang (Epy Kusnandar), satpam yang beristri tiga, dan satu-satunya lelaki yang tak takluk pada istrinya. Tak heran kalau akhirnya terjadi “ikatan” persamaan nasib di antara para suami itu. Pak RT (Otis Pamutih), Faisal, Tigor, dan Karyo (Irvan Penyok), jadi terbiasa ngudarasa, curhat, atau berbagi taktik mengelabui istri, meski selalu gagal. Namun, selain karena takut pada istri, ikatan sesama suami ini juga terjalin karena alasan yang sama, ketertarikan pada seorang janda. Pretty (Desy Novitasari) namanya. Bahkan, konflik akibat kejandaan Pretty nyaris menjadi menu utama sitkom ini.

Janda Omnivora

Pretty memang cantik. Kakinya panjang, dengan dada yang padat, dan acap berbusana terbuka, menantang. Bibirnya tipis, dan kalau bicara, mendesis-desis. Matanya pun bagus, terutama kalau berkedip-kedip ketika bicara. Kehadirannya menjadi magnit di komplek itu, bukan saja membuat para suami jadi punya kesamaan idola, melainkan juga menjadikan para istri punya musuh bersama. Pretty yang cantik, dan terutama janda, membuat para istri memandang dalam syak-wasangka. Karena tampaknya, sebagai kompensasi ketakutan pada istri, para suami jadi memiliki keberanian untuk menggoda sang janda.

Pretty bukan tidak menyadari ketertarikan para suami pada tubuhnya, dan kemarahan para istri akan kehadirannya. Tapi, bukannya menjaga diri, Pretty justru berlaku “jinak-jinak merpati”. Akibatnya, para suami acap tertangkap basah tengah menggodanya, membantunya, atau terkunci di dalam rumahnya. Hanya Dadang yang tak begitu “memandang” Pretty. Satpam ini cuma bisa “goyang” oleh uang.

Sitkom ini memang melakukan mitos penguatan pada stigma janda. Pretty tampil dalam imaji janda yang memang bertugas menggoda. Dia memberi angin pada harapan para suami lewat lirikan, ajakan jari telunjuk, senyum, dan busana. Pretty mempersepsikan sebagai janda yang mau dan “bisa” digoda. Bahkan, ayah Tigor, Togar (Dorman Borisman) yang berkunjung, langsung melihat sinyal “kebisaan” Pretty. Dia berusaha mencuri kesempatan, namun ternyata, sama seperti anaknya, Batak tua ini pun takut pada istrinya. Hahaha…

Karena hadir dalam streotif “bisa” digoda, para istri pun memosisikan Pretty dalam stigma janda pada umumnya. Bu RT (Aty Fathiyah) terutama, sangat percaya bahwa Pretty selalu menginginkan suaminya. Meski hal itu dibantah anaknya, Sarmilila (Marissa), “Nyak, kenape sih selalu nyalahin Tante Pretty? Nggak mungkin juga Tante Pretty mau sama Babe.” Tapi, bagi Bu RT, yang mewakili stigma umum itu, janda adalah omnivora, pemakan segala, tak punya kelas selera. Pria apa pun, jelek atau binaraga, lembut atau tak bekerja, akan dimamahnya.

“Suami-suami Takut Istri” tidak berusaha melakukan redefenisi pada stigma janda itu. Dalam satu seri, Pretty bahkan digambarkan begitu hausnya pada lelaki, dan berusaha menjebak Garry (Ady Irwandi), satu-satunya lajang di perumahan itu. Namun Garry menolak. Ia pun distigmakan sebagai lelaki yang lugu, yang tanpa pretensi apa pun, senang membantu. Kehadiran Garry sebagai lajang polos kian menegaskan keomnivoraan Pretty. Belum lagi posisi Dadang sebagai satpam, yang lebih banyak menjadi mata para istri, dengan imbalan uang, untuk mengawasi Pretty. Dadang hadir lebih sebagai personifikasi negara, menjadi pengawas akan status warganya.

Logika Janda

Sitkom “Suami-suami Takut Istri” adalah cermin stigmatisasi janda yang masih berlangsung dan diterima oleh warga. Keberterimaan itu dapat dilihat dari kehadiran Pretty yang tidak mendapat resistensi dari penonton. Artinya, sosok Pretty dilihat dan dinikmati bukan sebagai karakter yang terberi melainkan watak asali. Konflik dan kecemburuan karena Pretty dinikmati sebagai kewajaran dan bukan pengada-adaan. Akibatnya, jalinan cerita menjadi benar dalam “logika” janda.

Janda, “perempuan yang pernah menikmati seks”, dipersepsikan sebagai ancaman rumah tangga. Karena pernah menikmati seks, janda dipercayai akan mencari lagi kenikmatan itu dengan cara apa pun. Logika inilah yang membuat, jika pun terjadi hubungan seks antara seorang lelaki dan janda, perempuan itu menjadi “tersangka” dan lelaki sebagai “korban”. Anggapan yang sangat kejam, yang celakanya, justru mendapat afirmasi dari negara.

Negara “mengakui” stigmatisasi janda sebagai “ancaman” pada moralitas dan rumah tangga. Maka perempuan yang “pernah menikmati seks secara sah” itu perlu terus dilabeli. Labelisasi itu dilakukan negara lewat penyebutan di dalam KTP. Dengan pelabelan itu, seorang wanita didudukkan dalam sebuah akuarium besar, sehinnga khalayak dapat mengetahui statusnya. Dengan pelabelan itu, negara mengatakan bahwa “perempuan ini pernah menikmati seks secara resmi”, dan warga harus hati-hati padanya. Label status yang menjadi “penjara” bagi si perempuan, agar dia terus tersadarkan tentang statusnya, dan menjaga sikap moralnya di depan warga.

Ironinya, pelabelan itu hanya menjerat perempuan yang pernah menikmati seks secara resmi alias menikah. Sedangkan perempuan yang pernah menikmati seks –tanpa harus menikah– tidak masuk dalam labelisasi ini. Artinya, bui labelisasi itu justru diberikan pada perempuan yang mengikuti moralitas umum –mereka pernah menikah– dan bukan mereka yang melawan moralitas umum –ngeseks tanpa menikah. Tanpa sadar, negara dan warga justru mengawasi perempuan yang “mengakui dan mengikuti” moralitas umum. Aneh kan?

Mengapa negara dan warga menghidupi terus stigma janda itu? Sebabnya satu, seks masih masuk ke wilayah tabu. Sebagai sesuatu yang tabu, seks hadir dan meluas secara tersembunyi, dan hidup dalam imajinasi banyak orang. Dan janda, –perempuan yang pernah menikmati seks– adalah sebuah “wilayah kosong” yang memantik imajinasi. “Wilayah yang tak lagi tergarap” itu memancing imajinasi banyak perempuan dan lelaki, apalagi jika dia secantik dan seseksi Pretty. Karena itu, “Suami-suami Takut Istri” adalah cermin kebobrokan moral dan kesesatan pikir masyarakat ini. Kita menikmati, menertawai. Menggelikan sekali!

*)Thanks untuk Cahaya atas ide dasar tulisan ini

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 11 Mei 2008]

Painting gallery