Sabtu, 25 April 2009
SYAHWAT BIKIN JALAN MACET
Urusan syahwat memang seringkali menimbulkan masalah. Bukan hanya bagi si pelaku namun juga bagi orang lain yang tidak tahu rimbanya. Gara-gara syahwat pula, jalanan bisa menjadi macet total. Sungguh fenomena yang patut disayangkan.
Ini bukan syahwat biasa, bukan syahwat yang identik dengan pengobatan tradisional semacam Mak Erot. Ini adalah syahwat politik. Syahwat politik jauh lebih berbahaya daripada syahwat biologis. Yah, era reformasi membawa perubahan pada fenomena syahwat politik di negeri ini. Sekarang orang tanpa sungkan dan malu melampiaskan syahwat politiknya dimuka umum.
Hari Sabtu lalu, perjalanan saya dari Tuban menuju Malang sempat terganggu gara-gara syahwat politik seorang politikus lokal. Tanpa segan-segan politikus tersebut melakukan masturbasi politiknya di tepi jalan utama yang menghubungkan Surabaya dan Malang. Kemacetan pun tak terelakkan lagi. Begitu antusiasnya massa untuk melihat dari dekat masturbasi politik yang dilakukan oleh calon pemimpi(n)nya. Acara masturbasi politik tersebut dihadiri oleh ribuan massa. Hujan badai tak menghalangi aksi pelampiasan syahwat politik tersebut. Entah berapa ratus juta rupiah biaya pementasan aksi masturbasi politik ini.
Semua penumpang tampak gelisah menghadapi kemacetan selama tiga jam ini. Berbagai dugaan penyebab kemacetan mereka pikirkan. Sebuah kecelakaan lalu lintas tragis ada di hampir semua benak penumpang. Namun begitu tahu bahwa penyebab kemacetan adalah aksi masturbasi politik sang politikus, do’a serta sumpah serapah pun bersahutan.
Benar! Do’a dan sumpah serapah! Penumpang yang “alim” mengeluarkan do’a ancamannya. Semoga calon pemimpi(n) yang melakukan masturbasi politik di pinggir jalan ini bakal kalah, begitu kurang lebih do’anya. Sedang bagi penumpang yang “kurang alim”, sumpah serapah pun meluncur dengan jelas. Berbagai kata umpatan khas jawa Timur pun bersahutan dan ditujukan dengan penuh rasa hormat kepada sang pelaku masturbasi politik ini.
Bukan hanya masturbasi politik, syahwat politik juga menghalalkan adanya pedofili politik. Ini saya ketahui keesokan harinya, ketika membaca sebuah koran. Salah seorang kandidat pemimpi(n) melakukan pelanggaran berat dengan melibatkan anak-anak sebagai juru kampanye pemuas. Gila! Anak perempuan usia SD pun diembat!
Yah, syahwat politik memang berbahaya! Ketika syahwat politik telah memuncak, semua pun bisa dihalalkan.
Ini bukan syahwat biasa, bukan syahwat yang identik dengan pengobatan tradisional semacam Mak Erot. Ini adalah syahwat politik. Syahwat politik jauh lebih berbahaya daripada syahwat biologis. Yah, era reformasi membawa perubahan pada fenomena syahwat politik di negeri ini. Sekarang orang tanpa sungkan dan malu melampiaskan syahwat politiknya dimuka umum.
Hari Sabtu lalu, perjalanan saya dari Tuban menuju Malang sempat terganggu gara-gara syahwat politik seorang politikus lokal. Tanpa segan-segan politikus tersebut melakukan masturbasi politiknya di tepi jalan utama yang menghubungkan Surabaya dan Malang. Kemacetan pun tak terelakkan lagi. Begitu antusiasnya massa untuk melihat dari dekat masturbasi politik yang dilakukan oleh calon pemimpi(n)nya. Acara masturbasi politik tersebut dihadiri oleh ribuan massa. Hujan badai tak menghalangi aksi pelampiasan syahwat politik tersebut. Entah berapa ratus juta rupiah biaya pementasan aksi masturbasi politik ini.
Semua penumpang tampak gelisah menghadapi kemacetan selama tiga jam ini. Berbagai dugaan penyebab kemacetan mereka pikirkan. Sebuah kecelakaan lalu lintas tragis ada di hampir semua benak penumpang. Namun begitu tahu bahwa penyebab kemacetan adalah aksi masturbasi politik sang politikus, do’a serta sumpah serapah pun bersahutan.
Benar! Do’a dan sumpah serapah! Penumpang yang “alim” mengeluarkan do’a ancamannya. Semoga calon pemimpi(n) yang melakukan masturbasi politik di pinggir jalan ini bakal kalah, begitu kurang lebih do’anya. Sedang bagi penumpang yang “kurang alim”, sumpah serapah pun meluncur dengan jelas. Berbagai kata umpatan khas jawa Timur pun bersahutan dan ditujukan dengan penuh rasa hormat kepada sang pelaku masturbasi politik ini.
Bukan hanya masturbasi politik, syahwat politik juga menghalalkan adanya pedofili politik. Ini saya ketahui keesokan harinya, ketika membaca sebuah koran. Salah seorang kandidat pemimpi(n) melakukan pelanggaran berat dengan melibatkan anak-anak sebagai juru kampanye pemuas. Gila! Anak perempuan usia SD pun diembat!
Yah, syahwat politik memang berbahaya! Ketika syahwat politik telah memuncak, semua pun bisa dihalalkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
adalah ladang puisi sang penyair malam. Ladang Syahwat itu adalah sekujur tubuh yang menggigil

gelembung syahwat
Asal Mula Kemaksiatan dan Ketaatan
Friday, 11. January 2008, 07:16:36
Matnul Hikam
"ASAL SEMUA MAKSIAT. LUPA KEPADA ALLAH DAN SELA MENURUTI SYAHWAT YANG DATANG DARI HAWA NAFSU. DAN ASAL DARI SETIAP KETAATAN, KESADARAN DAN MENJAGA DIRI DARI SYAHWAT ITU TIDAK ADA KERELAAN DARIMU DALAM MENURUTI HAWA NAFSU".
Menurut para ulama', bahwasanya asal muka timbulnya kemaksiatan yang di lakukan seseorang itu adalah karena mereka itu berpaling dari Allah dan menurutkan kehendak hawa nafsu. Padahal sebenarnya kalau manusia itu mau berfikir dengan hati dan akal yang sehat, niscaya dia akan tahu kurang kehancuran, kebinasaan dan juga kehinaan.
Namun demikian, tidaklah bijak kalau nafsu itu kita lenyapkan begitu saja. Karena pada dasarnya, nafsu itulah yang mendorong manusia ke arah kemajuan. Dan dalam hal ini nafsu tersebut terbagi menjadi dua macam, yakni:
(1).
Nafsu Ammaroh, yaitu nafsu yang cenderung untuk berbuat keburukan dan kejahatan. Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Yusuf ayat 53, yang artinya: "Dan aku tidak membebaskan dirimu (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun Lagi Maha penyayang".
(2).
Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang tenang dan dapat dikendalikan, sehingga tidak mempunyai kecenderungan untuk berbuat kejahatan atau kemaksiatan. Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Fajr Ayat 27-28, yang artinya: "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-Ku".
Adapun nafsu Ammaroh itu terbagi lagi menjadi enam macam, yakni:
(1). syahwat, yang harus diatasi dengan jalan mengerjakan amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
(2). Amara, yang harus diatasi dengan sifat sabar.
(3). Thama', yang harus diatasi dengan sifat qona-ah.
(4). Takabur atau Sombong, yang harus diatasi dengan sifat tawadhu'.
(5). Riya', yang harus diatasi dengan sifat ikhlas.
(6). Dengki, yang harus diatasi dengan sifat pasrah dalam menerima apa yang sudah menjadi bagiannya.
Keenam sifat buruk yang menjadi cabang dari nafsu ammaroh tadi haruslah diperangi dan diatasi dengan cara menanamkan sifat-sifat baik sebagai mana yang tersebut di atas yang sebelumnya merupakan cabang dari nafsu muthmainnah.
blog asal mikir

Ferry Arbania Sumenep Madura
Tawa untuk Logika Janda
![]() | ![]() ![]() Ynachofoto.comuni Shara Jadi Janda Kembang | |
Susah sungguh bergelar janda, jadi rebutan dan caci-maki para tetangga
“Takut… takut… takut… Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt…. Ciut.. ciut… ciut… Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt….” Anda pasti akrab dengan potongan lagu di atas. Ya, itulah lagu yang menjadi pembuka tayangan sitkom “Suami-suami Takut Istri” setiap sore di TransTV. Dari lagu tersebut sudah jelas arah cerita komedi itu, tentang suami yang tak berdaya di depan istri.Sitkom yang diproduseri Anjasmara dan disutradarai Sofyan de Surza itu memang populer. Selain cukup bagus dari sisi cerita, kekuatan karakter tokoh menjadi daya tarik utama, terutama karena bumbu kontradiksi di dalamnya. Tigor (Yanda Djaitov) yang berbadan binaraga misalnya, justru takluk sama istrinya, Welas (Asri Pramawati), yang lembut dan kurus. Lucu, apalagi jika mengaitkan kesukuan mereka, Tigor yang Batak dan Welas yang Jawa. Atau keluarga satu suku, Faisal (Ramdan Setia) dan Deswita (Melvy Noviza). Matrenalisme suku Padang diwujudkan secara ekstrim dalam ketaklukan suami dalam hal apa pun. Sesuatu yang hiperbolis, sebenarnya. Tapi, tanpa yang hiperbolis, komedi tentu akan kehilangan suara.
Konflik dalam sitkom ini tergolong biasa, khas permasalahan rumah tangga. Namun karena faktor ketertundukan suami, penyelesaian konflik tadi acap mengundang tawa. Apalagi, dikontraskan dengan kehadiran Dadang (Epy Kusnandar), satpam yang beristri tiga, dan satu-satunya lelaki yang tak takluk pada istrinya. Tak heran kalau akhirnya terjadi “ikatan” persamaan nasib di antara para suami itu. Pak RT (Otis Pamutih), Faisal, Tigor, dan Karyo (Irvan Penyok), jadi terbiasa ngudarasa, curhat, atau berbagi taktik mengelabui istri, meski selalu gagal. Namun, selain karena takut pada istri, ikatan sesama suami ini juga terjalin karena alasan yang sama, ketertarikan pada seorang janda. Pretty (Desy Novitasari) namanya. Bahkan, konflik akibat kejandaan Pretty nyaris menjadi menu utama sitkom ini.
Janda Omnivora
Pretty memang cantik. Kakinya panjang, dengan dada yang padat, dan acap berbusana terbuka, menantang. Bibirnya tipis, dan kalau bicara, mendesis-desis. Matanya pun bagus, terutama kalau berkedip-kedip ketika bicara. Kehadirannya menjadi magnit di komplek itu, bukan saja membuat para suami jadi punya kesamaan idola, melainkan juga menjadikan para istri punya musuh bersama. Pretty yang cantik, dan terutama janda, membuat para istri memandang dalam syak-wasangka. Karena tampaknya, sebagai kompensasi ketakutan pada istri, para suami jadi memiliki keberanian untuk menggoda sang janda.
Pretty bukan tidak menyadari ketertarikan para suami pada tubuhnya, dan kemarahan para istri akan kehadirannya. Tapi, bukannya menjaga diri, Pretty justru berlaku “jinak-jinak merpati”. Akibatnya, para suami acap tertangkap basah tengah menggodanya, membantunya, atau terkunci di dalam rumahnya. Hanya Dadang yang tak begitu “memandang” Pretty. Satpam ini cuma bisa “goyang” oleh uang.
Sitkom ini memang melakukan mitos penguatan pada stigma janda. Pretty tampil dalam imaji janda yang memang bertugas menggoda. Dia memberi angin pada harapan para suami lewat lirikan, ajakan jari telunjuk, senyum, dan busana. Pretty mempersepsikan sebagai janda yang mau dan “bisa” digoda. Bahkan, ayah Tigor, Togar (Dorman Borisman) yang berkunjung, langsung melihat sinyal “kebisaan” Pretty. Dia berusaha mencuri kesempatan, namun ternyata, sama seperti anaknya, Batak tua ini pun takut pada istrinya. Hahaha…
Karena hadir dalam streotif “bisa” digoda, para istri pun memosisikan Pretty dalam stigma janda pada umumnya. Bu RT (Aty Fathiyah) terutama, sangat percaya bahwa Pretty selalu menginginkan suaminya. Meski hal itu dibantah anaknya, Sarmilila (Marissa), “Nyak, kenape sih selalu nyalahin Tante Pretty? Nggak mungkin juga Tante Pretty mau sama Babe.” Tapi, bagi Bu RT, yang mewakili stigma umum itu, janda adalah omnivora, pemakan segala, tak punya kelas selera. Pria apa pun, jelek atau binaraga, lembut atau tak bekerja, akan dimamahnya.
“Suami-suami Takut Istri” tidak berusaha melakukan redefenisi pada stigma janda itu. Dalam satu seri, Pretty bahkan digambarkan begitu hausnya pada lelaki, dan berusaha menjebak Garry (Ady Irwandi), satu-satunya lajang di perumahan itu. Namun Garry menolak. Ia pun distigmakan sebagai lelaki yang lugu, yang tanpa pretensi apa pun, senang membantu. Kehadiran Garry sebagai lajang polos kian menegaskan keomnivoraan Pretty. Belum lagi posisi Dadang sebagai satpam, yang lebih banyak menjadi mata para istri, dengan imbalan uang, untuk mengawasi Pretty. Dadang hadir lebih sebagai personifikasi negara, menjadi pengawas akan status warganya.
Logika Janda
Sitkom “Suami-suami Takut Istri” adalah cermin stigmatisasi janda yang masih berlangsung dan diterima oleh warga. Keberterimaan itu dapat dilihat dari kehadiran Pretty yang tidak mendapat resistensi dari penonton. Artinya, sosok Pretty dilihat dan dinikmati bukan sebagai karakter yang terberi melainkan watak asali. Konflik dan kecemburuan karena Pretty dinikmati sebagai kewajaran dan bukan pengada-adaan. Akibatnya, jalinan cerita menjadi benar dalam “logika” janda.
Janda, “perempuan yang pernah menikmati seks”, dipersepsikan sebagai ancaman rumah tangga. Karena pernah menikmati seks, janda dipercayai akan mencari lagi kenikmatan itu dengan cara apa pun. Logika inilah yang membuat, jika pun terjadi hubungan seks antara seorang lelaki dan janda, perempuan itu menjadi “tersangka” dan lelaki sebagai “korban”. Anggapan yang sangat kejam, yang celakanya, justru mendapat afirmasi dari negara.
Negara “mengakui” stigmatisasi janda sebagai “ancaman” pada moralitas dan rumah tangga. Maka perempuan yang “pernah menikmati seks secara sah” itu perlu terus dilabeli. Labelisasi itu dilakukan negara lewat penyebutan di dalam KTP. Dengan pelabelan itu, seorang wanita didudukkan dalam sebuah akuarium besar, sehinnga khalayak dapat mengetahui statusnya. Dengan pelabelan itu, negara mengatakan bahwa “perempuan ini pernah menikmati seks secara resmi”, dan warga harus hati-hati padanya. Label status yang menjadi “penjara” bagi si perempuan, agar dia terus tersadarkan tentang statusnya, dan menjaga sikap moralnya di depan warga.
Ironinya, pelabelan itu hanya menjerat perempuan yang pernah menikmati seks secara resmi alias menikah. Sedangkan perempuan yang pernah menikmati seks –tanpa harus menikah– tidak masuk dalam labelisasi ini. Artinya, bui labelisasi itu justru diberikan pada perempuan yang mengikuti moralitas umum –mereka pernah menikah– dan bukan mereka yang melawan moralitas umum –ngeseks tanpa menikah. Tanpa sadar, negara dan warga justru mengawasi perempuan yang “mengakui dan mengikuti” moralitas umum. Aneh kan?
Mengapa negara dan warga menghidupi terus stigma janda itu? Sebabnya satu, seks masih masuk ke wilayah tabu. Sebagai sesuatu yang tabu, seks hadir dan meluas secara tersembunyi, dan hidup dalam imajinasi banyak orang. Dan janda, –perempuan yang pernah menikmati seks– adalah sebuah “wilayah kosong” yang memantik imajinasi. “Wilayah yang tak lagi tergarap” itu memancing imajinasi banyak perempuan dan lelaki, apalagi jika dia secantik dan seseksi Pretty. Karena itu, “Suami-suami Takut Istri” adalah cermin kebobrokan moral dan kesesatan pikir masyarakat ini. Kita menikmati, menertawai. Menggelikan sekali!
*)Thanks untuk Cahaya atas ide dasar tulisan ini
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 11 Mei 2008]
Painting gallery
This section looks like an image gallery. Wikipedia image gallery policy discourages galleries that consist of random images of the article subject. This gallery should either be improved in accordance with the policy or removed (with the freely licensed images moved to Wikimedia Commons if they are not already hosted there). |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar